Keluarga Alamanda

Icon

. cerita bunda . cerita keluarga mahayattika .

Belajar dari “Kartini” Jepang

Gaza Mblangkon

Dari jaman aku bayi dulu, sampe sekarang udah gendong bayi, yang namanya Hari Kartini adalah identik dengan festival pakaian adat. Tiap TK, SD, berlomba-lomba bikin lomba pakaian adat. Bahkan Hari Kartini 2010 kemarin di beberapa instansi pemerintah, juga swasta, karyawati-karyawatinya sampai kompakan pakai kebaya. Memang apa hubungannya Kartini dengan Kebaya?

Ada juga kelompok yang mengatasnamakan gerakan “pembebasan perempuan” yang menuntut penyetaraan perlakuan antara pria dan wanita di segala bidang. Apakah wanita harus sama dengan laki-laki?

Coba kita simak isi surat Kartini :

Kami di sini meminta, ya memohonkan, meminta dengan sangatnya supaya diusahakan pengajaran dan pendidikan anak-anak perempuan, bukanlah sekali-kali karena kami hendak menjadikan anak-anak perempuan itu saingan orang laki-laki dalam perjuangan hidup ini, melainkan karena kami, oleh sebab sangat yakin akan besar pengaruh yang mungkin datang dari kaum perempuan-hendak menjadikan perempuan itu lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan oleh Alam sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu-pendidik manusia yang pertama-tama.(4 Oktober 1902 Kepada Tn Anton dan Nyonya. Habis Gelap Terbitlah Terang terjemahan Armijn Pane. PN Balai Pustaka 1985)

Padahal Ibu-kita-Kartini-putri-sejati :p kala itu tidak menuntut kesetaraan dengan laki-laki dalam segala bidang, beliau hanya memintakesetaraan hak dalam memperoleh pendidikan, sehingga bisa menjalankan fungsinya, kewajibannya sebagai pendidik anak-anaknya dengan lebih optimal.

Di bawah ini adalah sebagian tulisan dari Anni Iwasaki, Ketua Umum Anni Iwasaki Foundation (AIF), seorang Indonesia yang menikah dengan laki-laki Jepang dan tinggal di Jepang. Cukup menarik untuk disimak bagaimana peran perempuan Jepang dalam membangun negaranya. Ditulis tanggal 17 April 2004 dengan judul “Wanita Jepang tetap Konsisten Menjadi Ibu, Pendidik Manusia Yang Pertama-tama”.

“Okikunatara okasan ni naritai”– kalau besar ingin menjadi ibu- jawaban anak-anak Jepang seperti itu, rasanya tidak dimiliki oleh anak-anak perempuan di Indonesia. Apabila datang pertanyaan, “Kalau sudah besar nanti ingin menjadi apa?”

Dalam tulisan tersebut, disebutkan hasil penelitian yang melibatkan 20ribu-an wanita Jepang, Ibu muda, dan dirilis oleh Kementrian Kesehatan Tenaga Kerja dan Kesejahteraan Jepang tanggal 17 Maret 04. Didapatkan 73% dari jumlah responden mempunyai pekerjaan diluar rumah sebelum melahirkan anak pertama. 53% keluar dari tempatnya bekerja sesaat sebelum melahirkan dan tidak kembali bekerja lagi. Ditambah dengan yang keluar dari pekerjaannya setelah melahirkan, jumlah seluruhnya menunjukkan 61% ibu muda Jepang meninggalkan pekerjaannya diluar rumah setelah melahirkan anak pertama. Padahal di tahun 2002 hampir 100% wanita Jepang tamat pendidikan SMU.

Kebebasan memilih bagi wanita Jepang adalah, profesionalisme. Peran ganda sebagai ibu, terutama ibu anak balita sekaligus wanita pekerja. Dianggap sebagai chuto hanpa-peran tanggung, tidak populer di Jepang. Menjadi ibu manusia Jepang atau tidak sama sekali. Hak dan kewajiban masing-masing dilindungi oleh undang-undang. Sarana dan prasarana yang diberikan oleh pemerintah sama-sama besar dan mendukung kesuksesan masing-masing karir yang diemban.

Bagi wanita pekerja Jepang-wanita tidak menikah/menikah tidak melahirkan anak -, bisa mencapai jabatan yang setinggi-tingginya apabila dia sanggup dan mampu. Astronout wanita Asia pertama, bahkan mungkin yang pertama pula di dunia, terbang dua kali dengan NASA, space-shuttle Columbia-Juli 1994 dan Discovery-Nov 98, adalah wanita Jepang, Dr. Chiaki Mukai. Menlu sekaligus Deputi Perdana Menteri dari negara super economic power sekaligus bangsa tersejahtera didunia serta memiliki harapan hidup terlama, dan sedang berjuang meningkatkan peranan Jepang di Dewan Keamanan PBB, adalah seorang wanita, Yoriko Kawaguchi-reshuffled, kini anggota Majelis Rendah Jepang/Des 05/AI-.

Bagi wanita Jepang yang memilih melahirkan anak. Secara ilmiah maupun dalam tradisi Jepang, mitsu no tamashi -masa-masa emas meletakkan pendidikan dasar sejak janin berada dalam kandungan hingga dalam usia tiga tahun pertama anak adalah masa perkembangan pesat otak seorang anak. Adalah penyebab utama para ibu muda Jepang berpendidikan meninggalkan lapangan kerja melaksanakan ikuji-meletakkan dasar pendidikan karakter & berperilaku sejak dini kepada anak-anaknya.

Agar para ibu muda Jepang tidak perlu membantu mencari tambahan nafkah keluarga. Pemerintah Jepang menyediakan permukiman sewa layak untuk para keluarga muda. Sejak dari jaman dinding masih terbuat dari papan hingga kini beton bertingkat tahan gempa dengan fasum&fasos yang semakin maju seperti teknologi informasi. Tanpa didorong-dorong namun dengan daya tarik berupa sistim keamanan sosial, sarana& prasarana serta pengetahuan yang semakin baik. Secara alamiah nilai keibuan yang dimiliki sebagian besar wanita Jepang bisa berkembangan menumbuh-kembangkan anak-anak beserta lingkungan. Tak heran jika anak-anak di Jepang , pria dan wanita, sangat sayang dan mengagumi ibu-ibunya. Layaknya jelmaan Dewi Amaterasu-Dewi Matahari- yang dipuja oleh bangsa Jepang.

Pentingnya pendidikan sejak dini itupun telah disinggung dalam surat Kartini, “…dalam haribaan si ibu itulah anak belajar merasa, berpikir, berkata-kata”.(Awal tahun 1900 kepada Nyonya Ovink Soer). Namun yang terjadi, anak Indonesia dari golongan ibu berpendidikan malah berada dalam haribaan para pembantu rumah tangga dan Baby sitter.

Diplomasi Jepang di luar Jepang tentang peranan wanita Jepang sebagai senggyo syuhu -ibu rumah tangga profesional- dan kyoiku mama-ibu pendidikan, memang nyaris tidak terdengar. Namun dalam aplikasinya di kehidupan sehari-hari di Jepang sangat gencar dan berkelanjutan.

Tentang wanita (baca; ibu) yang bekerja di luar rumah telah menjadi agenda utama pemutus kebijakan wanita Indonesia sejak berdirinya Meneg Urusan Peranan Wanita. Namun hak-hak para ibu Indonesia untuk dapat melaksanakan kewajibanya melaksanakan fitrah keibuannya sebagai ibu manusia Indonesia belum pernah digaungkan.

Dalam upaya bangkit dari keterpurukan nasional saat ini, dengan melihat keberhasilan pembangunan manusia Jepang oleh para ibu Jepang. Ternyata, sangat relevan mewujudkan segera cita-cita Pahlawan Nasional Ibu Kartini. Yang sejalan juga dengan UU Pernikahan RI 1974, UU Perlindungan Anak Thn 2002 bahkan seirama dengan hati nurani kaum ibu Indonesia.

Jadi, apa makna hari Kartini bagimu?

Filed under: Uncategorized, , , , ,

8 Responses

  1. fithrimaya says:

    baru mau bikin postingan yang sama..eh udah keduluan bundanya Gaza

  2. Alis Tabri says:

    artikel yang sangat bagus, yang perlu dibaca oleh semua wanita Indonesia. Satu hal yang perlu direnungkan oleh para ibu adalah bahwa bekerja bukanlah kewajiban para istri, dan bahwa mendidik dan mengasuh anak secara baik akan memunculkan generasi2 muda yang baik, cerdas dan tangguh.
    wallahu a’lam bishowab

    • Lintang DF says:

      yup setuju..
      tapi mmg kadang2 kondisi tidak bisa se-ideal yang kita inginkan..Dan kita harus pintar2 membagi waktu dan membagi diri. untuk bisa memenuhi kewajiban kita atas peran2 yang kita jalankan
      Thx for comment 🙂

  3. G. Ari - Tabri says:

    Menyentuh dan sarat nilai2 keibuan
    mudah2an para orang tua berlapang dada mendukung anaknya (calon ibu muda) utk menjadi kartini seperti di Jepang. Krn Bahagia seorang anak (calon ibu) tdk melulu dengan status dan karir yang prestisius melainkan menjadi ibu yang luar biasa bagi anak2nya (cucu orang tua si ibu muda)…

    mudah2an dimudahkan

    • Lintang DF says:

      betul mba..
      “Karir” yang (pasti) dijalankan seorang wanita adalah menjadi IBU. Tapi nyatanya tidak semua orang tua menyiapkan anak2nya untuk menjadi IBU yang BAIK..

      **btw, curcol ya mba? hehe..**

  4. tenang semua says:

    hehehe….artikel bagus bu,,,

    ya seperti apa kata sebuah persepsi dan pengetahuan,,hehe…bahwa pemahaman tentang gender tidak sepenuhnya harus western oriented…bahkan oriental oriented terkadang lebih bagus..hehehe…

    ya kadang kita mudah terpola oleh sesuatu yang sepertinya menurut kita adalah bagus sehingga menjadikan suatu stigma bahwa suatu rasa malu akan muncul bagi wanita Indonesia jika menjadi ibu rumah tangga yang proffesional…

    padahal sejarah itu ada dua, yang selalu berubah dan tidak pernah berubah…

    yang selalu berubah adalah teknologi…
    sementara yang tidak pernah berubah adalah naluri, nurani, hati hehehe…..

    • Lintang DF says:

      naruni, naluri dan hati juga bisa berubah pak.. jika terlalu sering diabaikan, tidak didengarkan dan tidak dipelihara..
      walopun aku juga ibu bekerja, tapi aku bangga lho pak, jadi ibu rumah tangga 🙂
      thanks for comment

Leave a comment

Aku dan dia

Kidzsmile Foundation

AIMI Jabar

Enter your email address to subscribe to this blog and receive notifications of new posts by email.

Join 9 other subscribers

Yang silaturahim

  • 92,995 hits